Diberdayakan oleh Blogger.
place your

ADS here

just call me

Mengenang Stiker Kota

Written By Agung Setiawan on Kamis, 12 Desember 2013 | 1:54 PM


Jika ada orang yang bertanya, karya seni grafis apa yang sangat diminati dan paling laris di Indonesia ini, jawaban saya belum berubah: stiker kota. Ya, ini sebutan untuk stiker-stiker yang sering kita lihat menempel di mana-mana: sepatbor motor, kaca mobil, cermin toilet, daun pintu, sampai sampul buku. Yang gambarnya macam-macam: dari stiker bertuliskan Warning, Caution, Danger dengan teks-teks nakal di bawahnya; gambar presiden pertama Sukarno, penyanyi balada Iwan Fals, sampai kelompok musik Slank; berbagai lafaz-lafaz Arab; atau yang lebih menggelitik memori generasi 1980-an maupun 1990-an: stiker bergambar perempuan berambut tajam bertuliskan “Gadis Jujur”, si bayi gemuk “No Problem”, maupun stiker-stiker teks bertuliskan “Yang Cakep Duduk Di Muka (Dekat Mas Sopir)” maupun “Sekarang Bayar Besok Gratis”. Memori kolektif generasi itu masih berlangsung hingga kini karena stiker-stiker itu masih tersebar di mana-mana. Stiker-stiker itu diminati, dalam jumlah yang masif, dan bolehlah dikatakan: mengalahkan popularitas karya semua seniman seni grafis di Indonesia.


 Apakah stiker-stiker itu bisa disebut sebagai karya seni grafis atau tidak, biarlah kita titipkan perdebatan itu kepada para kritikus seni rupa. Yang jelas, stiker-stiker itu tak mendapat perhatian lebih dalam wacana seni rupa dan desain di Indonesia sekalipun popularitasnya jelas membuatnya sangat layak dibahas—setidaknya sebagai fenomena sosial. Dalam wacana seni grafis 1980-an, sebagaimana poster, spanduk, baliho, iklan, kemasan, dan produk visual lainnya, stiker-stiker itu hanya dianggap sebagai “kebudayaan massa.” Dengan kata lain, kecuali mungkin bagi kritikus seni rupa Sanento Yuliman: tak penting dibahas. no-problem2

 
 Bagaimanapun, popularitas stiker kota di tengah kehidupan warga Jakarta dan juga beberapa kota besar lainnya di Pulau Jawa sejak 1980-an mengundang tanya. Syahdan, pada 2000, sebuah organisasi seniman muda di Jakarta bernama ruangrupa tertarik meneliti stiker-stiker yang pernah menemani mereka tumbuh remaja itu. Hasil penelitian itu diterbitkan dalam jurnal terbitan mereka, Karbon edisi 2 / April 2001, dengan judul “Cetak Urban: Yang Personal di Atas Tafsiran Sosiologis”. Belakangan, saya turut mengurus jurnal itu, terutama saat Karbon bersalin rupa menjadi jurnal daring (dalam jaringan, atau online) dengan alamat Karbonjournal.org sejak 2007. Satu tahun kemudian, ruangrupa membentuk Divisi Penelitian dan Pengembangan lalu memutuskan untuk kembali meneliti stiker kota. Saya terlibat di dalamnya.

 
 Pada 2008 itulah kami sepakat menamai stiker-stiker tersebut sebagai “stiker kota”. Alasannya sederhana: stiker-stiker yang dikonsumsi masyarakat kota itu menyuarakan hasrat urban. Referensi tentang stiker kota saat itu tetap minim. Kembali pada titik nol, membuat kami melontarkan pertanyaan mendasar: siapa otak di balik semua ini? Penelusuran kami selama enam bulan di berbagai kota, dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, sampai Surabaya, lalu membuahkan temuan unik.

 
 Jika Anda membeli stiker-stiker model lawas—yang masih tersangkut memori kolektif 1980-an dan 1990-an tadi—yang biar pun sudah jarang pada 2008 itu, pada stiker yang masih berupa lembaran besar, belum dipotong-potong untuk dijual, Anda akan menemukan cap bertuliskan “AMP Prod”, artinya: produksi AMP. Dan jauh dari perkiraan kami yang menyangka kalau produsen stiker itu pastilah berada di sebuah kota besar—sesuai hasrat yang diembannya, sesuai julukan “stiker kota” dari kami—AMP Production justru berada di sebuah desa, yaitu di Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

 
 AMP adalah singkatan “Adi Mas Putra” yang berarti “adik, kakak, dan putra”. Usaha itu didirikan oleh Kusnadi pada 1977, saat pemuda putus sekolah kelahiran 1956 itu menikahi Pujowati, istrinya yang kemudian menjadi rekan kerjanya. Mereka memulainya hanya dari sebuah ruang kecil dengan satu alat sablon. Lama-lama usaha mereka membesar hingga pabrik AMP pernah memiliki 150 pegawai. Baru sejak 2008, berkat manajemen yang semakin efisien setelah pengalaman bertahun-tahun, AMP cukup ditangani 75 orang saja.

 
 Lalu, bagaimana mungkin stiker-stiker yang bagi kami isinya “sangat kota” itu diproduksi di sebuah desa? Pertanyaan itu mengantar kami pada segudang pertanyaan lain, yang tentu tidak mungkin dijawab sepenuhnya dalam penelitian pertama kami yang memang lebih bertujuan membuka jalan bagi penelitian lanjutan. Hasil penelitian kami kemudian dibukukan dengan judul Stiker Kota pada akhir 2008. Di dalamnya, dimuat 3000-an gambar stiker dengan berbagai kategori yang kami kumpulkan selama hampir satu tahun. Misteri asal mula stiker kota berhasil kami kuak, namun seliweran pemaknaan atasnya tentu belum sepenuhnya terjawab.

 
 Bagaimanapun, kami mengandaikan stiker-stiker itu sebagai teman bagi para perantau di kota Jakarta. Ibu kota ini memang menjadi fokus penelitian kami, sekalipun tak mungkin memaknai stiker kota di Jakarta tanpa memerhatikan hubungannya dengan kota-kota lain. Persisnya, terkait keberadaan stiker kota yang kami bayangkan sebagai teman para perantau, saya kutip isi buku tersebut: “Kota telah melemparkan kampung halaman penghuninya, di saat kota sendiri belum sepenuhnya menerima warganya. Dalam pertarungan sosial antarkelas ekonomi ini, masyarakat yang tersudutkan sebagai kelompok akhirnya perlu mengais-ngais lagi kenangan asal mereka, kampung halaman yang tak bisa sepenuhnya menghilang karena dibutuhkan sebagai pijakan identitas.”

 
 Pernyataan tersebut, tentu berbasis pada anggapan bahwa nyaris semua warga Jakarta adalah perantau. Juga dengan kesadaran bahwa seiring perkembangan teknologi dan informasi, yang membuat orang-orang semakin bisa mengakses hal yang sama dan mengalami berbagai pertukaran budaya, apa “yang kota” bukan lagi cuma persoalan ruang tapi juga persoalan makna. Batas desa dan kota sudah semakin kabur sejak keduanya semakin bisa diimajinasikan. Di Jakarta—kita tahu—segala yang gedongan dan kampungan berampur-aduk tak keruan. Dalam kesemrawutan itu, setiap orang perlu pijakan identitas, yang salah satunya ternyata mampu dimediasi oleh stiker-stiker itu.

 
Selain menjadi bagian dari identifikasi diri seseorang, stiker juga menjadi penanda teritorial bagi penempelnya, di mana upaya penempelan itu terkait dengan kehendak berkomunikasi, yang semuanya dilakukan dengan kesadaran ruang. Stiker lafaz Islam yang menempel di depan pintu seseorang, misalnya, selain menegaskan identitas agama pemilik pintu kepada dirinya sendiri, juga menyampaikan identitas itu kepada tamunya, sekaligus sebagai penanda teritorial kemuslimannya. Menempelkan stiker Sukarno di rumah, misalnya, mungkin dapat membuat Anda tampak Sukarnois sekalipun belum tentu Anda pendukung Megawati, sekaligus dapat membuat seorang antek Orde Baru yang berkunjung ke rumah jadi lebih menjaga tutur kata. Stiker teks “Tampang Keren Belum Tentu Berisi Kantongnya” bisa menampilkan sisi humoris Anda, menyiratkan kenyataan sebenarnya, atau bisa membuat tamu curiga kalau Anda sebenarnya tak sebelia yang dikira karena menggemari stiker-stiker yang ngetop pada akhir 1980-an.

 
 Sementara itu, suatu stiker “harus ditempelkan di tempat yang sesuai agar memiliki makna yang tepat”. Namun setiap orang tentu bisa tak hanya memiliki satu lembar stiker, tidak pula sejumlah stiker dengan kategori sejenis. Identitas seseorang tidak tunggal. Jauh lebih rumit daripada yang bisa kita duga. Keberagaman elemen identitas itu mungkin tak berbeda dengan bagaimana stiker-stiker dipajang di lapak-lapak: campur-baur tanpa susunan jelas, sehingga stiker Sukarno yang menggelora bisa dipajang di sebelah stiker Soeharto yang selalu tersenyum, stiker Che Guevara yang revolusioner bisa bersanding akrab dengan stiker Britney Spears yang spektakuler. Variasi stiker yang saling bertubrukan maknanya bisa saja kita dapati dalam rumah seseorang—dan tak seketika menjelaskan sesuatu.

 
 Sebagaimana produk budaya lainnya, kita bisa melihat dan memahami masyarakat melalui stiker. Semakin banyak stiker Warning (termasuk stiker Danger dan Caution) yang ditujukan untuk ditempel di sepatbor motor, misalnya, terjadi seiring semakin banyaknya motor berkeliaran di jalanan. Pada 2008 itu mulai banyak stiker berbahasa daerah dan lebih banyak stiker nakal dengan teks-teks lucu dan “menjurus”, seolah menyiratkan menguatnya identitas lokal sejak otonomi daerah dan semakin dibutuhkannya humor untuk merenggangkan ketegangan hidup. Perpaduan berbagai citraan dalam stiker-stiker pun kian absurd. “Bagaimana,” misalnya, “menjelaskan kekaguman kepada Che Guevara yang stikernya kemudian diplesetkan menjadi Chewe Gue Parah? Dan bagaimana jika stiker itu dibeli oleh mereka yang sebelumnya mengagumi dan membeli stiker Che Guevara?’” Atau, “suatu saat nanti, akan ada yang mengira bahwa Mickey Mouse itu adalah kartun asal Indonesia karena tikus itu fasih berbahasa Indonesia dalam stikernya.”

 
 Akhir kata, “Sebuah citraan yang mampu terus bertahan bisa saja adalah citraan tentang harapan, namun pengertian akan harapan itu juga akan terus berubah seiring zaman dan anggapan masyarakatnya”. Stiker, sebagaimana kenyataan hidup di ruang kota, adalah kesementaraan. Namun dari sana ada banyak hal yang bisa kita lihat dari setiap perubahan yang ada. Termasuk, misalnya, kenyataan bahwa belakangan ini saya semakin jarang melihat stiker-stiker itu menempel di motor-motor. Apakah ini berarti sesuatu? Apakah semesta stiker kota telah bergeser menuju sesuatu yang berbeda lagi? Dan sebelum itu terjadi, bukankah ini saat yang tepat bagi kita untuk kembali menelitinya?

 
 Beberapa sticker kota yang mungkin bisa membuat anda ketawa mengingat masa-masa 80-90an

Sumber

1:54 PM | 0 komentar | Read More