Jika ada orang yang bertanya, karya seni grafis apa yang sangat diminati
dan paling laris di Indonesia ini, jawaban saya belum berubah: stiker
kota. Ya, ini sebutan untuk stiker-stiker yang sering kita lihat
menempel di mana-mana: sepatbor motor, kaca mobil, cermin toilet, daun
pintu, sampai sampul buku. Yang gambarnya macam-macam: dari stiker
bertuliskan Warning, Caution, Danger dengan teks-teks nakal di bawahnya;
gambar presiden pertama Sukarno, penyanyi balada Iwan Fals, sampai
kelompok musik Slank; berbagai lafaz-lafaz Arab; atau yang lebih
menggelitik memori generasi 1980-an maupun 1990-an: stiker bergambar
perempuan berambut tajam bertuliskan “Gadis Jujur”, si bayi gemuk “No
Problem”, maupun stiker-stiker teks bertuliskan “Yang Cakep Duduk Di
Muka (Dekat Mas Sopir)” maupun “Sekarang Bayar Besok Gratis”. Memori
kolektif generasi itu masih berlangsung hingga kini karena stiker-stiker
itu masih tersebar di mana-mana. Stiker-stiker itu diminati, dalam
jumlah yang masif, dan bolehlah dikatakan: mengalahkan popularitas karya
semua seniman seni grafis di Indonesia.
Apakah stiker-stiker itu bisa disebut sebagai karya seni grafis atau
tidak, biarlah kita titipkan perdebatan itu kepada para kritikus seni
rupa. Yang jelas, stiker-stiker itu tak mendapat perhatian lebih dalam
wacana seni rupa dan desain di Indonesia sekalipun popularitasnya jelas
membuatnya sangat layak dibahas—setidaknya sebagai fenomena sosial.
Dalam wacana seni grafis 1980-an, sebagaimana poster, spanduk, baliho,
iklan, kemasan, dan produk visual lainnya, stiker-stiker itu hanya
dianggap sebagai “kebudayaan massa.” Dengan kata lain, kecuali mungkin
bagi kritikus seni rupa Sanento Yuliman: tak penting dibahas. no-problem2
Bagaimanapun, popularitas stiker kota di tengah kehidupan warga Jakarta
dan juga beberapa kota besar lainnya di Pulau Jawa sejak 1980-an
mengundang tanya. Syahdan, pada 2000, sebuah organisasi seniman muda di
Jakarta bernama ruangrupa tertarik meneliti stiker-stiker yang pernah
menemani mereka tumbuh remaja itu. Hasil penelitian itu diterbitkan
dalam jurnal terbitan mereka, Karbon edisi 2 / April 2001, dengan judul
“Cetak Urban: Yang Personal di Atas Tafsiran Sosiologis”. Belakangan,
saya turut mengurus jurnal itu, terutama saat Karbon bersalin rupa
menjadi jurnal daring (dalam jaringan, atau online) dengan alamat
Karbonjournal.org sejak 2007. Satu tahun kemudian, ruangrupa membentuk
Divisi Penelitian dan Pengembangan lalu memutuskan untuk kembali
meneliti stiker kota. Saya terlibat di dalamnya.
Pada 2008 itulah kami sepakat menamai stiker-stiker tersebut sebagai
“stiker kota”. Alasannya sederhana: stiker-stiker yang dikonsumsi
masyarakat kota itu menyuarakan hasrat urban. Referensi tentang stiker
kota saat itu tetap minim. Kembali pada titik nol, membuat kami
melontarkan pertanyaan mendasar: siapa otak di balik semua ini?
Penelusuran kami selama enam bulan di berbagai kota, dari Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang, sampai Surabaya, lalu membuahkan temuan
unik.
Jika Anda membeli stiker-stiker model lawas—yang masih tersangkut memori
kolektif 1980-an dan 1990-an tadi—yang biar pun sudah jarang pada 2008
itu, pada stiker yang masih berupa lembaran besar, belum dipotong-potong
untuk dijual, Anda akan menemukan cap bertuliskan “AMP Prod”, artinya:
produksi AMP. Dan jauh dari perkiraan kami yang menyangka kalau produsen
stiker itu pastilah berada di sebuah kota besar—sesuai hasrat yang
diembannya, sesuai julukan “stiker kota” dari kami—AMP Production justru
berada di sebuah desa, yaitu di Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
AMP adalah singkatan “Adi Mas Putra” yang berarti “adik, kakak, dan
putra”. Usaha itu didirikan oleh Kusnadi pada 1977, saat pemuda putus
sekolah kelahiran 1956 itu menikahi Pujowati, istrinya yang kemudian
menjadi rekan kerjanya. Mereka memulainya hanya dari sebuah ruang kecil
dengan satu alat sablon. Lama-lama usaha mereka membesar hingga pabrik
AMP pernah memiliki 150 pegawai. Baru sejak 2008, berkat manajemen yang
semakin efisien setelah pengalaman bertahun-tahun, AMP cukup ditangani
75 orang saja.
Lalu, bagaimana mungkin stiker-stiker yang bagi kami isinya “sangat
kota” itu diproduksi di sebuah desa? Pertanyaan itu mengantar kami pada
segudang pertanyaan lain, yang tentu tidak mungkin dijawab sepenuhnya
dalam penelitian pertama kami yang memang lebih bertujuan membuka jalan
bagi penelitian lanjutan. Hasil penelitian kami kemudian dibukukan
dengan judul Stiker Kota pada akhir 2008. Di dalamnya, dimuat 3000-an
gambar stiker dengan berbagai kategori yang kami kumpulkan selama hampir
satu tahun. Misteri asal mula stiker kota berhasil kami kuak, namun
seliweran pemaknaan atasnya tentu belum sepenuhnya terjawab.
Bagaimanapun, kami mengandaikan stiker-stiker itu sebagai teman bagi
para perantau di kota Jakarta. Ibu kota ini memang menjadi fokus
penelitian kami, sekalipun tak mungkin memaknai stiker kota di Jakarta
tanpa memerhatikan hubungannya dengan kota-kota lain. Persisnya, terkait
keberadaan stiker kota yang kami bayangkan sebagai teman para perantau,
saya kutip isi buku tersebut: “Kota telah melemparkan kampung halaman
penghuninya, di saat kota sendiri belum sepenuhnya menerima warganya.
Dalam pertarungan sosial antarkelas ekonomi ini, masyarakat yang
tersudutkan sebagai kelompok akhirnya perlu mengais-ngais lagi kenangan
asal mereka, kampung halaman yang tak bisa sepenuhnya menghilang karena
dibutuhkan sebagai pijakan identitas.”
Pernyataan tersebut, tentu berbasis pada anggapan bahwa nyaris semua
warga Jakarta adalah perantau. Juga dengan kesadaran bahwa seiring
perkembangan teknologi dan informasi, yang membuat orang-orang semakin
bisa mengakses hal yang sama dan mengalami berbagai pertukaran budaya,
apa “yang kota” bukan lagi cuma persoalan ruang tapi juga persoalan
makna. Batas desa dan kota sudah semakin kabur sejak keduanya semakin
bisa diimajinasikan. Di Jakarta—kita tahu—segala yang gedongan dan
kampungan berampur-aduk tak keruan. Dalam kesemrawutan itu, setiap orang
perlu pijakan identitas, yang salah satunya ternyata mampu dimediasi
oleh stiker-stiker itu.
Selain menjadi bagian dari identifikasi diri seseorang, stiker juga
menjadi penanda teritorial bagi penempelnya, di mana upaya penempelan
itu terkait dengan kehendak berkomunikasi, yang semuanya dilakukan
dengan kesadaran ruang. Stiker lafaz Islam yang menempel di depan pintu
seseorang, misalnya, selain menegaskan identitas agama pemilik pintu
kepada dirinya sendiri, juga menyampaikan identitas itu kepada tamunya,
sekaligus sebagai penanda teritorial kemuslimannya. Menempelkan stiker
Sukarno di rumah, misalnya, mungkin dapat membuat Anda tampak Sukarnois
sekalipun belum tentu Anda pendukung Megawati, sekaligus dapat membuat
seorang antek Orde Baru yang berkunjung ke rumah jadi lebih menjaga
tutur kata. Stiker teks “Tampang Keren Belum Tentu Berisi Kantongnya”
bisa menampilkan sisi humoris Anda, menyiratkan kenyataan sebenarnya,
atau bisa membuat tamu curiga kalau Anda sebenarnya tak sebelia yang
dikira karena menggemari stiker-stiker yang ngetop pada akhir 1980-an.
Sementara itu, suatu stiker “harus ditempelkan di tempat yang sesuai
agar memiliki makna yang tepat”. Namun setiap orang tentu bisa tak hanya
memiliki satu lembar stiker, tidak pula sejumlah stiker dengan kategori
sejenis. Identitas seseorang tidak tunggal. Jauh lebih rumit daripada
yang bisa kita duga. Keberagaman elemen identitas itu mungkin tak
berbeda dengan bagaimana stiker-stiker dipajang di lapak-lapak:
campur-baur tanpa susunan jelas, sehingga stiker Sukarno yang menggelora
bisa dipajang di sebelah stiker Soeharto yang selalu tersenyum, stiker
Che Guevara yang revolusioner bisa bersanding akrab dengan stiker
Britney Spears yang spektakuler. Variasi stiker yang saling bertubrukan
maknanya bisa saja kita dapati dalam rumah seseorang—dan tak seketika
menjelaskan sesuatu.
Sebagaimana produk budaya lainnya, kita bisa melihat dan memahami
masyarakat melalui stiker. Semakin banyak stiker Warning (termasuk
stiker Danger dan Caution) yang ditujukan untuk ditempel di sepatbor
motor, misalnya, terjadi seiring semakin banyaknya motor berkeliaran di
jalanan. Pada 2008 itu mulai banyak stiker berbahasa daerah dan lebih
banyak stiker nakal dengan teks-teks lucu dan “menjurus”, seolah
menyiratkan menguatnya identitas lokal sejak otonomi daerah dan semakin
dibutuhkannya humor untuk merenggangkan ketegangan hidup. Perpaduan
berbagai citraan dalam stiker-stiker pun kian absurd. “Bagaimana,”
misalnya, “menjelaskan kekaguman kepada Che Guevara yang stikernya
kemudian diplesetkan menjadi Chewe Gue Parah? Dan bagaimana jika stiker
itu dibeli oleh mereka yang sebelumnya mengagumi dan membeli stiker Che
Guevara?’” Atau, “suatu saat nanti, akan ada yang mengira bahwa Mickey
Mouse itu adalah kartun asal Indonesia karena tikus itu fasih berbahasa
Indonesia dalam stikernya.”
Akhir kata, “Sebuah citraan yang mampu terus bertahan bisa saja adalah
citraan tentang harapan, namun pengertian akan harapan itu juga akan
terus berubah seiring zaman dan anggapan masyarakatnya”. Stiker,
sebagaimana kenyataan hidup di ruang kota, adalah kesementaraan. Namun
dari sana ada banyak hal yang bisa kita lihat dari setiap perubahan yang
ada. Termasuk, misalnya, kenyataan bahwa belakangan ini saya semakin
jarang melihat stiker-stiker itu menempel di motor-motor. Apakah ini
berarti sesuatu? Apakah semesta stiker kota telah bergeser menuju
sesuatu yang berbeda lagi? Dan sebelum itu terjadi, bukankah ini saat
yang tepat bagi kita untuk kembali menelitinya?
Beberapa sticker kota yang mungkin bisa membuat anda ketawa mengingat masa-masa 80-90an
Sumber
1:54 PM | 0
komentar | Read More