Orang boleh tidak suka hal-hal buruk metropolis Jakarta. Tapi nyatanya di Indonesia inilah kota yang paling banyak dibuatkan lagu, puisi, film dan lain-lain bentuk seni tentangnya.
Apakah Anda ingat lagu-lagu Iwan Fals, Benyamin Sueb, Titiek Puspa dan Guruh Soekarnoputra, serta pusi-puisi Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang dan film-film Bing Slamet? Saya yakin, bahkan beberapa di antara kita—banyak, mungkin—suatu ketika pasti pernah diam-diam mencoba menulis puisi atau sekedar aforisme tentangnya.
Dengan kata lain, metropolis ini paling pemberi ilham. Semua punya arti (Sitor Situmorang). Semua dapat tempat (Chairil Anwar). Seorang teman saya, gurubesar dan peneliti Amerika
Jakarta besar sekali, dan padat sekali. Segala hal buruk dan baik ada padanya. Orang senantiasa berupaya mengakalinya untuk sekadar hidup atau justru menggapai ambisi besar yang tidak mungkin di kota lain. Sebagian orang, mungkin mayoritas malah, merasa kota ini “membentuk aku atau mematahkan aku” (nah ini suatu aforisme yang sering kita dengar tentang metropolis).
Sebaliknya tidak mungkin. Tidak mungkin “aku kebanyakan” mengubahnya. Ia mungkin akan tetap penuh korupsi. Bagian tertentunya busuk dan penuh dosa. Tapi aspalnya, setidaknya di bagian-bagian utamanya, bagaimanapun juga adalah yang paling mulus. “Hitam, bersih dan berguna pula,” kata Bertold Brecht, penulis modernis Jerman itu, di dalam puisinya Kota Aspal. “Apa salahnya aspal/Aku suka aspal/Hanya kubangan air saja yang iri,” lanjutnya.
Tapi bukankah Ali Sadikin pernah berhasil mengubahnya (sebentar?), bukan dipatahkannya, meskipun barangkali beliau juga dibentuk olehnya? Dan anehnya, sekarang ini ternyata dikatakan setidaknya ada 14 orang yang merasa mampu mengubahnya, dan akan mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta tahun depan. Kita lihat nanti akhirnya berapa yang sungguh akan bertarung.
Tapi Anda sendiri, apakah Anda yakin Jakarta dapat diubah—menjadi lebih baik tentunya? Saya tahu kita semua punya rasa benci-tapi-rindu (Bahasa Inggrisnya: hate-and-love) terhadap Jakarta. Tapi, apakah kita juga terombang-ambing antara perasaan mampu dan tidak mampu mengubahnya menjadi lebih baik? Tahun depan, ketika pemilihan gubernur, kita harus punya sikap. yang sudah terkenal dengan beberapa bukunya, sedang menyusun teori perkotaan serius berdasarkan ilham yang dia dapat dengan menelusuri kampung-kampung di Jakarta Utara.
Apakah Anda ingat lagu-lagu Iwan Fals, Benyamin Sueb, Titiek Puspa dan Guruh Soekarnoputra, serta pusi-puisi Goenawan Mohamad, Sitor Situmorang dan film-film Bing Slamet? Saya yakin, bahkan beberapa di antara kita—banyak, mungkin—suatu ketika pasti pernah diam-diam mencoba menulis puisi atau sekedar aforisme tentangnya.
Dengan kata lain, metropolis ini paling pemberi ilham. Semua punya arti (Sitor Situmorang). Semua dapat tempat (Chairil Anwar). Seorang teman saya, gurubesar dan peneliti Amerika
Jakarta besar sekali, dan padat sekali. Segala hal buruk dan baik ada padanya. Orang senantiasa berupaya mengakalinya untuk sekadar hidup atau justru menggapai ambisi besar yang tidak mungkin di kota lain. Sebagian orang, mungkin mayoritas malah, merasa kota ini “membentuk aku atau mematahkan aku” (nah ini suatu aforisme yang sering kita dengar tentang metropolis).
Sebaliknya tidak mungkin. Tidak mungkin “aku kebanyakan” mengubahnya. Ia mungkin akan tetap penuh korupsi. Bagian tertentunya busuk dan penuh dosa. Tapi aspalnya, setidaknya di bagian-bagian utamanya, bagaimanapun juga adalah yang paling mulus. “Hitam, bersih dan berguna pula,” kata Bertold Brecht, penulis modernis Jerman itu, di dalam puisinya Kota Aspal. “Apa salahnya aspal/Aku suka aspal/Hanya kubangan air saja yang iri,” lanjutnya.
Tapi bukankah Ali Sadikin pernah berhasil mengubahnya (sebentar?), bukan dipatahkannya, meskipun barangkali beliau juga dibentuk olehnya? Dan anehnya, sekarang ini ternyata dikatakan setidaknya ada 14 orang yang merasa mampu mengubahnya, dan akan mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta tahun depan. Kita lihat nanti akhirnya berapa yang sungguh akan bertarung.
Tapi Anda sendiri, apakah Anda yakin Jakarta dapat diubah—menjadi lebih baik tentunya? Saya tahu kita semua punya rasa benci-tapi-rindu (Bahasa Inggrisnya: hate-and-love) terhadap Jakarta. Tapi, apakah kita juga terombang-ambing antara perasaan mampu dan tidak mampu mengubahnya menjadi lebih baik? Tahun depan, ketika pemilihan gubernur, kita harus punya sikap. yang sudah terkenal dengan beberapa bukunya, sedang menyusun teori perkotaan serius berdasarkan ilham yang dia dapat dengan menelusuri kampung-kampung di Jakarta Utara.
Oleh Marco Kusumawijaya
0 komentar:
Posting Komentar
Pembaca budiman tolong kolom komentarnya diisi ya Tks before (^_^)