Haruskah MUI Jadi Alat Legitimasi

Written By Agung Setiawan on Kamis, 30 Juni 2011 | 2:41 PM


Kita tahu bahwa kenaikan harga minyak dunia menjadi beban berat bagi pemerintah. Subsidi yang harus dibayarkan pemerintah semakin besar, apalagi tingkat konsumsi yang juga semakin meningkat. Namun solusi untuk menggunakan Majelis Ulama Indonesia sebagai pembenaran terhadap langkah pengurangan beban subsidi menunjukkan ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan.

Sejauh ini tidak terlalu jelas siapa yang membawa gagasan untuk meminta MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi. Pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengaku bahwa pihaknya didatangi MUI untuk membantu memecahkan persoalan beban subsidi BBM.

Langkah tersebut menjadi tidak proporsional, karena MUI bukan dibentuk untuk mengurusi seperti persoalan BBM. MUI hadir untuk membimbing masyarakat agar menjalankan keberagamaan secara benar termasuk bagaimana umat Muslim bertindak di dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia.

MUI memang diminta untuk ikut serta dalam pembangunan nasional. Namun pembangunan yang dimaksud bukan ikut terlibat dalam urusan teknis operasional pengelolaan negara, tetapi menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang harmonis agar tercipta ketenangan dalam melakukan pembangunan.

Persoalan beban subsidi BBM merupakan masalah yang tidak terlalu sulit ditangani oleh pemerintah. Yang dibutuhkan hanyalah kemampuan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dihadapi pemerintah dan mengapa pilihannya adalah dengan meminta masyarakat untuk menanggung bebannya.

Sejauh ini kajian terhadap beban subsidi BBM sudah dilakukan oleh tim yang dibentuk pemerintah sendiri. Rekomendasi terhadap langkah yang sebaiknya ditempuh pemerintah sudah disampaikan dengan begitu gamblangnya.

Pemerintah tinggal memilih salah satu dari tiga opsi yang sudah disiapkan. Kalau pemerintah tidak berani juga untuk mengambil keputusan, persoalan bukan berada pada masyarakat, tetapi pada pemerintah itu sendiri.

Momentum untuk menaikkan harga BBM sebenarnya ada di bulan April lalu. Bank Indonesia sudah mengingatkan bahwa kenaikan pada bulan April tidak akan terlalu membebani masyarakat, karena tingkat inflasi yang rendah ketika itu. Bahwa pemerintah kemudian tidak memanfaatkan momentum dengan baik, itu adalah kesalahan dari pemerintah sendiri.

Pemerintah tidak bisa menyalahkan masyarakat ketika mereka kemudian tidak menggunakan BBM non-subsidi. Bukan hanya karena mereka sangat rasional untuk melihat harga BBM yang lebih ekonomis, tetapi tidak semua kendaraan yang dimiliki masyarakat membutuhkan oktan yang terlalu tinggi.

Oleh karena itu, banyak pihak yang mengusulkan pemerintah untuk menaikkan saja harga BBM apabila memang sudah membebani APBN. Bukankah pada tahun 2005, pemerintah pernah menetapkan harga yang jauh lebih tinggi dari harga yang sekarang. Meski pada awalnya masyarakat memprotes kenaikan itu, namun akhirnya mereka bisa menyesuaikan diri dengan harga yang baru.

Dengan menggunakan MUI untuk melegitimasi keputusan pemerintah, sebenarnya pemerintah sedang membangun preseden yang buruk. Pemerintah bukan hanya menunjukkan ketidakmampuan mengurus negara, tetapi tidak berani bertanggung jawab.

Masyarakat pasti akan memahami keputusan untuk menaikkan BBM apabila itu merupakan pilihan terakhir untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Pemerintah bisa menjelaskan bahwa APBN yang sehat diperlukan agar kita dapat mendorong kemajuan ekonomi nasional.

Pemerintah bisa menunjukkan contoh apa yang dialami Yunani misalnya. Ketika APBN tidak sehat dan terlalu banyak dipakai untuk keperluan subsidi yang tidak perlu, maka negara akan tidak dipercaya oleh pasar. Ketika investasi keluar dari negara itu, maka masyarakat akan memikul beban yang lebih berat lagi.

Hal lain yang bisa membuat masyarakat paham, jika pemerintah menunjukkan sikap untuk berhemat. Pemerintah sudah menunjukkan upaya untuk mengurangi beban terhadap APBN dengan menggunakan anggaran secara lebih bertanggung jawab.

Ketika sekarang pemerintah tidak menunjukkan sikap untuk berhemat, wajar jika masyarakat mempertanyakan kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM. Bukankah selama ini rakyat sudah membayar pajak, namun pelayanan yang mereka terima sangatlah minim.

Lihat saja kualitas jalan-jalan yang ada. Nyaris tidak ada jalan yang mulus. Fasilitas angkutan umum yang dibutuhkan masyarakat, kualitasnya pun begitu buruk. Sementara para pejabat terus hidup dalam segala kenikmatannya. Presiden memutuskan untuk membeli pesawat kepresidenan. DPR bersikukuh untuk membangun gedung baru. Bahkan DPD meminta anggaran untuk membangun kantor di seluruh provinsi yang ada.

Ketika korupsi dibiarkan terus terjadi tanpa ada upaya untuk menegakkan hukum secara tegas, wajar apabila rakyat menggugat setiap kebijakan yang hanya membebani mereka. Kalau saja pemerintah bisa melaksanakan prinsip "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing", pasti rakyat akan mau mendukung apa pun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Persoalan beban subsidi BBM tidak harus menjadi persoalan yang rumit apabila pemerintah mau jujur. Tidak perlu menggunakan MUI untuk mengatur penggunaan BBM karena masyarakat patuh pada aturan yang ditetapkan pemerintah, sepanjang aturan itu demi kebaikan seluruh bangsa.

Oleh Suryopratomo [AT] metrotvnews.com

0 komentar:

Posting Komentar

Pembaca budiman tolong kolom komentarnya diisi ya Tks before (^_^)